2019 menjadi tahun yang spesial
bagi dunia perpolitikan Indonesia dan menjadi sejarah besar dalam dunia demokrasi
dunia. Euforia pesta demokrasi kita diindonesia sudah terasa sejak 2017 lalu
saat berlangsung pemilihan kepala daerah serentak Se-indonesia. Tahun ini kita
disajikan kembali dengan hajatan demokrasi yang jauh lebih besar yakni ada lima
surat suara yang akan dicoblos serentak di TPS oleh setiap Warga Negara
Indonesia untuk menentukan lima tahun kepemimpinan Indonesia masa depan.
Pemilihan presiden dan wakil presiden (eksekutif), DPR RI, DPD RI, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten (legislatif)
Pemilihan serentak pada 17 april
2019, KPU telah menetapkan 2 pasangan calon presiden yakni 01 H. joko
Widodo-Maaruf Amin dan 02 H. Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno. Total
7968 calon DPR RI yang yang didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum Republik
indonesia (KPU RI) 16 partai politik nasional, 807 calon memperebutakan kursi
DPD RI dan ratusan ribu calon angota DRPD provinsi dan kabupaten/kota
Se-Indonesia (mengenai data penulis engan mencari data karna tidak terlalu
penting mengetahui angka tersebut karna kebijakannya tidak pernah ada yang
dapat diapresiasi)
Lalu seperti apa sikap para
mahasiswa dalam memandang tahun politik? Mahasiswa sebagai generasi penerus dan
pelurus bangsa sudah semestinya berpikir secara kritis dan bertindak secara
konkret demi perubahan bangsa kearah yang lebih baik. Kampus dan organisasi
kemahasiswaan sebagai tempat berkegiatan mahasiswa sudah lama diibaratkan
sebagai sebuah miniatur negara, yang didalamnya terdapat sistem pemerintahannya
masing masing. Layaknya BEM, DPM, dan UKM sebagai pusat kegiatan bagi para
mahasiswa untuk berorganisasi di kampus belum ditambah organiasi mahasiswa
ekternal kampus yang cukup banyak. Secara tidak langsung telah menerapkan
nilai-nilai politik berupa bentuk kecil demokrasi yang sebenarnya.
Perayaan pesta demokrasi atau
pemilu di Indonesia tidak lagi hanya menjadi media untuk mencari pemimpin baru
dengan visi-misi yang menyenangkan hati rakyat. Namun, sampai pada persoalan
mencukupi kebutuhan perut, syahwat dan fashion sehari-hari kalangan tertentu.
Memasuki tahun politik tahun 2019 tentu tidak hanya membuat sibuk pasangan calon
presiden atau kontestan pemilu lainnya yang akan saling bergulat untuk
memperebutkan suara rakyat atau sekedaragenda lima tahunan para pelaksana
teknis pemilu. Situasi ini juga dapat bermakna sebagai penguji bagi mahasiswa
sebagai kaum startegis di tengah masyarakat.
Status mahasiswa pada tahun
politik bisa menjadi santapan lezat bagi para elit politik. Ini berlaku bagi
mahasiswa yang bermazhab "Menambah Uang Jajan". Mereka akan terjebak
dalam drama politik para elit seperti
menjadi tim sukses caleg, parpol, dan capres yang mayoritas penganut
politik kekuasaan. Namun, situasi kebalikan bisa saja terjadi bagi mereka yang
menjadi sebenarnya mahasiswa yaitu, menempatkan diri sebagai lapisan masyarakat
independen yang kemudian berperan sebagai kontrol ideal atas proses demokrasi
yang sedang kita usung.
Dunia kampus seharusnya merupakan
dunia yang membebaskan orang per orang untuk menjadi diri sendiri atau
berkumpul dengan orang-orang yang sepaham dengan ideologi besar mahasiwa yang
anti pragmatisme. Paham-paham ideal ini akan turut mempengaruhi seseorang dalam
menentukan sebuah gerakan tidak terkecuali sosok yang diharapkan menjadi
"agent of change" di lingkungan sekitar dalam menghadapi tahun pesta
demokasi.
Di tahun politik mahasiswa
diharuskan turut andil dalam pelaksanaan teknis ataupun non-teknis kepemiluan.
Hal ini dirasa wajar saja karena untuk mengantisipasi terjadinya partisipasi
politik partisan khususnya di kalangan para pejabat lembaga kemahasiswaan.
Menjadi elit mahasiswa yang turut
menentukan arah kebijakan kampus serta memiliki pengaruh yang cukup
diperhitungkan di tataran sesama, tentu dapat menjadi modal utama untuk
dipertimbangkan dalam mendulang suara bagi kalangan tertentu yang terlibat
dalam kontestasi politik pada pemilu nanti.
Praktik money politic di kalangan
mahasiswa bukan lagi jadi strategi yang tepat untuk mendulang suara, namun
permainan ideologi dapat menjadi pilihan alternatif. Jika idealism sudah
digadaikan maka cara terbaik untuk menyadarkan diri sendiri yaitu dengan mengingat
kembali fungsi dan peran kita sebagai Mahasiswa itu sendiri. Hal ini yang
kemudian menjadi rambu-rambu terakhir di dalam menyikapi persoalan yang
demikian.
Sebagai agen "social
control" yang mengkritisi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah terhadap masyarakat, sudah seharusnya momentum tahun politik ini
menjadi kesempatan berharga untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan yang
dimiliki masyarakat di seluruh bidang.
Selanjutnya sebagai "Moral
Force" yaitu sumber kekuatan moral di tengah-tengah lingkungan masyarakat.
Menghadapi tahun politik yang terkadang menekan hati dan nurani kita dengan
sejumlah prakik-praktik kampanye yang dijalankan oleh tim pemenangan
masing-masing partai yang tidak mencerdaskan masyarakat, sudah seharusnya para
Mahasiswa dapat menjadi contoh dalam bersikap dan mengambil keputusan. Membantu
masyarakat untuk memahami kepentingan
dan mendapatkan hak yang sebagaimana harusnya mampu dilakukan oleh mahasiswa
dalam memberikan pendidikan politik yang manusiawi di dalam lingkungan
masyarakat.
Kemudian yang terakhir Mahasiswa
sebagai "Agent Of Change" harus mengambil sikap dan bergerak secara
cepat dalam merespon keadaan lingkungan sekitarnya serta tidak golput ketika
dilaksakan nya Pesta Demokrasi atau Pemilu. Selain memiliki hak mendapatkan
pendidikan yang layak, Mahasiswa juga berhak dalam menyuarakan pendapatnya,
umumnya seluruh warga negara.
Berpikir sebelum bertindak,
mengenali dan mengetahui visi dan misi dari semua calon kandidat sebelum
memilih mungkin akan lebih baik dan lebih bijak namun sanggat disayangkan
apabila gagasan kebangsaan yang tawarka oleh sang calon sudah tak oprisinil dan
dibuat oleh puluhan mungkin ratusan penyihir politik (konsultan politik)
Tentunya tidak mudah untuk tidak terperdaya dengan "Drama Politik"
yang dimainkan diatas panggung demokrasi, apalagi sekarang banyak yang memakai
kedok tertentu untuk mengambil hati rakyat, contohnya seperti menyebarkan
berita hoax, sara, untuk menjatuhkan lawan politik mereka.
Oleh: Kelvin Aldo
Penulis adalah Kabid Hikmah PC IMM Kota Bengkulu
tulisan sudah pernah dipublikasi di media online provinsi bengkulu yakni : bengkulu interaktif
https://www.bengkuluinteraktif.com/mahasiswa-santapan-elit-politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar