|
(Dokumen pribadi)
|
Saya
akan memulai tulisan ini dari tahun 2016, saya pikir dari tahun 2016 lah kisah
ini di mulai, dimana pada waktu itu saya lulus sebagai pelajar menengah atas
dri sekolah muhamadiyah lahir dari keluarga perantau tentu memiliki banyak
hubungan baik dengan orang orang baik, salah satunya adalah keluarga abdu
rahman teman sekelas saya di waktu SMA, yakni bernama pak arnof wardin dan
istrinya nya bernama Eva mereka sanggat baik dan saya cukup rutin main
kerumahnya karena si abdu sebelum berangkat kesekolah pasti kerumah saya
terlebih dahulu.
Setelah
menyelesaikan sekolah tinggi atas saya dan abdu lebih banyak menghabiskan waktu
bersama di rumah pak arnof karena semasa Ujian nasional telah selesai, dan kami
banyak belajar agama dan belajar dari pengalaman pengalaman beliau karena pak
arnof kebetulan mantan ketua pimpinan wilayah muhammadiyah, kami banyak mendengar
dan sedikit bertanya untuk menghidupkan dan memperpanjang cerita dan nasehat
dari pak arnof.
Pada
menjelang pendaftaran masuk perguruan tinggi saya ditanyakan sama pak arnof
bagaimana tentang akademik saya kedepannya, saya menjawab jika tak ada halangan
saya akan ikut berangkat dengan perwakilan sumatera selatan untuk kuliah di bandung
karena ada beasiswa kader jaringan keluarga dari musi rawas, sumatera selatan dari
pak prabowo subianto di bandung, lantas pak arnof memberikan nasehat terbaiknya
yakni, kamukan ilmu agamanya belum terlalu baik jika kamu ambil kuliah di bandung
kemungkinan bakalan sukses bakalan besar akan tetapi kamu akan belajar murni
politik dan untuk keagamaan sepertinya akan kurang, lagi pula keluarga kamu
kebengkulukan kamu yang ajak kalau sampai pindah kamu ninggalin keluarga kamu
lagi sedangkan mereka pindah ke bengkulu karena kamu sekolah dibengkulu agar
ngak jauh lagi. Bagusnya kamu (kelvin) kuliah saja di bengkulu masuk UMB
barenng abdu, mumpung masih ada slot beasiswa kuliah kader muhammadiyah kalian
kan kader IPM, ngak jauh dari keluarga, kuliah jalan, belajar agama dapat,
belajar politik bisa dari bengkulu ujar nasehat sesepuh muhammadiyah itu..
Itulah
kisah yang saya persingkat bagaimana saya bisa masuk kuliah di universitas
muhammadiyah bengkulu, tetapi kisahnya masih belum berakhir dan kisahnya abru
saja dimulai. Semester pertama sebagai mahasiswa saya begitu menikmati kehidupan
dunia kampus yang saya dambakan semejak masih berseragam abu abu, baik kegiatan
diskusi diruang kelas, pojok kampus, kegiatan kegiatan organisasi hingga turun
aksi. Oh ya saya lupa bercerita semejak masuk kampus saya diminta untuk tinggal
bareng abdu di rumah pak arnof karena si abdu ngak punya teman dirumah.
|
(Dokumen Pribadi) |
Saya
tidak akan memasukan tulisan panjang lebar betapa baiknya keluarga pak arnof kepada
saya selama tinggal disana, semuanya luar biasa baik, inga lina yang mengagap
saya seperti adik sendiri, buk eva yang sudah mengagap saya seperti anak
sendiri, dan keluarga yang ngak bisa saya sebutkan satu satu, mereka semuanya
luar biasa.
Dengan
kesibukan sebagai mahasiswa disemester pertama membuat saya mulai terkena
culture shok karena harus membagi waktu bagaimana kewajiban sebagai mahasiswa,
kegiatan dirumah pak arnof, keluarga dan organisasi sehingga terjadi beberapa kali
mendapatkan tiupan peluit tanda off side menurut ketua jurusan.
Setahun
saya tinggal dirumah pak arnof saya memilih keluar karena sudah tidak bisa
membagi waktu karena terlalu sibuk dengan apa yang ingin saya kerjakan dan
yakini, karena tinggal dirumah pak arnof sebelum magrib sudah harus di rumah dan
jika ingin pergi lagi setelah mabrib berjamaah silakan keluar dan pulang
dibawah jam 22.00 itulah kenapa saya memilih keluar.
Disini
perjalanan sesungguhnya dimulai, keluarnya saya dari rumah pak arnof sebenarnya
saya ingin melepaskan bayang bayang nama besar pak arnof di universitas
muhammadiyah bengkulu, saya ingin memebrikan pelajaran untuk dosen dosen nakal
yang dengan tangan besi semaunya membuat kebijakan yang tak dapat ganggu gugat,
memberantas jual beli nilai, memberantas oknum oknum yang gemar pungli dll.
Ada
beberapa dosen nakal yang akhirnya
memanen apa yang mareka tabur selama ini dan itu tidak akan saya jelaskan ditulisan
ini karena mereka tidak begitu penting bagi saya, bagi pembaca maupun bagi
semesta, termasuk ketua prodi saya yang akhirnya berakhir dengan meninggal
karena penyakitnya yang mungkin bisa saja karena sumpah para mahasiswa nya atau
memang takdirnya begitu.
Waktu
itu saya getol protes terhadap para penguasa kampus karena banyak kebijakan
yang tidak sesuai tetapi saya dicap sebagai kaki tanggan orang orang yang berseberangan dengan mereka, dan lebih
tepatnya mereka tidak percaya kalau itu adalah keresahan saya secara pribadi
dan kelompok karena melihat kondisi sosial di masyarakat kampus seperti itu
yang terjadi.
Perjalan
cerita tadi adalah kisah masa lalu yang ingin saya abadikan dalam bentuk
tulisan singkat ini agar terkenang sepanjang waktu, oh ya untuk kondisi kondisi
kampus yang disebutkan tentu sudah berubah tidak sama dimasa lalu, saya sudah
masuk pernah coba masuk kampus swasta lainnya sebut saja kampus biru sebagai
perbandingan kampus UM Bengkulu berani saya katakana kampus swasta terbaik,
baik dari segi fasilitas, pelayanan, KKN, mengenai sumber daya manusia biar
menjadi pekerjaan orang DIKTI yang menilai
Ditulisan
ini saya akan menjelaskan dari banyaknya yang bertanya kenapa tidak menuntaskan
kuliah di kampus biru?
Ada
banyak sekali faktor kenapa saya tidak melanjutkan kuliah dikampus tersebut,
pertama biaya semessterannya di luar kemampuan yang saya ikhlaskan untuk bayar
uang pendidikan dengan ilmu yang saya dapat, kedua lingkungan akademik yang
kurang sehat contoh dengan bebasnya dosenya tidak pernah hadir, mahasiswa bebas
titip absen, saat uts dan uas banyak sekali joki yang mengerjakan uts dan uas,
ketiga pungli atas nama beli buku dan jual beli nilai yang tidak bisa saya
terimah menjadi catatan penting kenapa saya memilih keluar dari sana. bersambung
part selanjutnya : doa kan penulis panjang umur